BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI, IRFANI DAN FALSAFI

 

TUGAS INI DIUPLOAD SETELAH DIKUMPULKAN KEPADA DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH

Fiana Shohibatussholihah (210101210015)

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

210101210015@student.uin-malang.ac.id

 

Abstrak

Tasawuf adalah salah satu term keilmuan yang banyak membahas tentang pengetahuan pengelolaan hati dengan baik agar terbuahkan dalam perilaku yang terpuji. Didalam tasawuf terdapat tiga aliran yaitu tasawuf akhlaqi, irfani dan falsafi yang memiliki corak berbeda dan tokoh-tokoh yang membawa konsep pemikirannya yang berbeda pula. Dalam artikel ini dipaparkan tokoh tasawuf akhlaqi yaitu Syaikh Abd al Qadir al Jailani dengan thariqah tauhidnya dan Imam Al Ghazali dengan perpaduan epik antara lelaku syariat dan thariqah. Tokoh dalam tasawuf irfani yaitu Robiah al Adawiyah yang menitik beratkan pada konsep mahabbah ilallah dan Jalaluddin Rumi yang menitik beratkan pada cinta universal. Tokoh dalam tasawuf falsafi yaitu Al Hallaj dengan konsep ittihad serta insan kamil dan Ibn Arabi dengan pemikirannya wahdatul wujud.

Kata Kunci: Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani, Tasawuf Falsafi

Abstract

Sufism is one of the disciplines that discusses a lot about the knowledge of managing the heart properly so that it will be fruitful in commendable behavior. In Sufism there are three schools of Sufism, namely akhlaqi, Irfani and philosophical Sufism which have different styles and characters who carry different concepts of thought. In this article, described akhlaqi Sufism figures, namely Sheikh Abdul Qadir al Jailani with his monotheistic tariqah and Imam Al Ghazali with an epic blend of shari'a and tariqah men. The characters in Irfani Sufism are Robiah al Adawiyah who focuses on the concept of mahabbah ilallah and Jalaluddin Rumi who focuses on universal love. The figures in philosophical Sufism are Al Hallaj with the concept of ittihad as well as Insan Kamil and Ibn Arabi with their thoughts of wahdatul form.

Keywords: Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani, Tasawuf Falsafi

A.    Pendahuluan

Agama Islam turun untuk menjadi pedoman hidup manusia agar memperhatikan aspek kebersihan lahiriyah dan kebersihan bathinah yang berkaitan erat dengan niat (aspek esoterik) dan praktek peribadatan (aspek eksoterik). Dari maksud tersebut maka terdapat suatu cabang disiplin ilmu keislaman yang dapat membantu manusia untuk mencapai kebersihan lahiriyah dan bathiniyah melalui jalan pembersihan diri (tazkiyatun nafs). Tasawuf yang menjadi disiplin keilmuan ini berorientasi pada pembentukan moral keislaman dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri makhluk kepada sang Pencipta.

Apabila ditinjau dari sejarah perkembangannya, ada dua arah perkembangan tasawuf yakni tasawuf amali yang menitik beratkan pada sisi praktis dan tasawuf nazhari yang menitik beratkan pada sisi teoritis. Tasawuf amali lebih banyak dikembangkan oleh salafus shalih karena langsung berkaitan dengan kehidupan sehari-hari tanpa membutuhkan dukungan teoritis yang kuat.

Untuk pembahasan term tasawuf ini terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu tasawuf akhlaqi, irfani dan falsafi yang tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh-tokoh yang menganut faham ini beserta pemikiran-pemikirannya yang beraneka ragam. Tokoh-tokoh tasawuf ini sering disebut sebagai tokoh sufi dengan karakteristik cara hidup yang sederhana dan berlandaskan kepada Allah semata. Kehidupan sufi ini dimulai sejak zaman sahabat nabi dan masih berlangsung sampai sekarang dengan meneladani cara hidup tokoh-tokoh sufi terdahulu.

 

B.     Tokoh Tasawuf Akhlaqi

1.      Biografi Syaikh Abd al Qadir Al Jailani

Syaikh Abd al Qadir al Jailani mempunyai nama lengkap Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir al Jailani yang lahir pada bulan Ramadhan 471 H di Naif. Ayah Syekh Abdul Qadir al Jailani adalah Aby Shalih Musa Junkay Dausat ibn Abdillah ibn Yahya Az-Zahid ibn Muhammad ibn Daud ibn Musa ibn Abdillah ibn Musa al-Juny ibn Abdullah Mahdhi ibn Hasan Mutsanna ibn Hasan ibn Aly ibn Aby Thalib.[1]

Sedangkan ibu dari Syaikh Abd al Qadir al Jailani bernama Fatimah bint Abdillah ibn Mahmud ibn Aby al-Atha ibn Kamaluddin ibn Aby Abdillah Alauddin ibn Aly Ridha ibn Musa al-Kazim ibn Ja’far al-Shadiq ibn Muhammad al Baqir ibn Zayn al-Abidin ibn Husayn ibn Aly ibn Abu Thalib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa nasab dari Syaikh Abd al Qadir al Jailani masih terhubung dengan nasab Rasulullah SAW.[2]

Keistimewaan Syaikh Abd al Qadir al Jailani sudah terlihat semenjak ia masih bayi. Terutama pemilihan waktu untuk menyusu kepada ibunya dilakukan setelah maghrib dan berpuasa tidak menyusu ketika siang hari. Ibu Syaikh Abd al Qadir al Jailani sudah berusia 60 tahun bertepatan dengan waktu melahirkan Syaikh Abd al Qadir al Jailani. Sejak masih kanak-kanak, Syaikh Abd al Qadir al Jailani ditinggal meninggal dunia oleh ayahnya dan diangkat oleh kakeknya dari pihak ibu.

Syaikh Abd al Qadir al Jailani mulai merantau pada usia delapan belas tahun ke Baghdad yang menjadi tempat Imam bin Hambal idola masyarakat Jilan. Pada tahun ini, Syekh Abdul Qadir al Jailani mengasingkan diri ke Syam. Syekh Abdul Qadir al Jailani selama menuntut ilmu sering melakukan tirakat-tirakat seperti berpuasa dan menghindari meminta makanan kepada orang lain.[3] Syaikh Abd Al Qadir al Jailani belajar banyak selama di daerah perantauan dan beliau mempelajari banyak cabang kelimuan Islam.

Setelah lulus pendidikan di Baghdad, Syekh Abdul Qadir al Jailani mulai berdakwah di madrasah dari Abu Said al Mukhrami. Madrasah terus mengalami perluasan dengan jumlah murid yang kian bertambah setiap waktunya. Ada banyak karya yang ditulis oleh Syekh Abdul Qadir al Jailani, diantaranya: Tafsir al-Jailani, At-Thariqu Ilallah al-Jailani, ad-Diwan, manaqib an-Nurul Burhan, Assafinatu al-Qadiriyah, Sirrul Asrar, Manaqib Jawahirul Ma’ani,Gunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Adabu as-Suluk al-Jailani, al Auradu al-Qadiriyah, dan masih ada kitab-kitab lain yang menceritakan tentang manusia mulia as-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Pemikiran Syekh Abdul Qadir al Jailani

Pemikiran Syekah Abdul Qadir al Jailani tentang tasawuf berorientasi pada masalah moral yang bersumber dari Quran dan Sunnah baik yang batin maupun dzahir. Thariqah atau jalan yang dijalanin Syekh Abdul Qadir al Jailani adalah thariqah tauhid yang dibersamai dengan sikap kehambaan seorang hamba. Dari sini dapat diketahui bahwa seorang hamba menerima apapun takdir yang diberikan oleh Allah dengan kerelaan dari ruh (jiwa), kesepakatan antara dzahir dan batin, dan menyucikan diri dari tabiat-tabiat jiwa yang buruk.[4]

Dengan kondisi sosial yang penuh kekacauan dalam bidang pemerintahan berupa dehumanisasi dan despiritualisasi, maka para ulama terkhusus para ulama sufi sangat memegang erat tauhid. Lebih jelas, Syekh Abdul Qadir al Jailani menyeru banyak orang untuk mengutamakan Allah dan menganggap remeh selain Allah seperti harta, tahta dan wanita. Sedangkan pokok dalam tasawuf akhlaqi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani  mencakup takhalli (membersihkan diri dari sifat tercela dan penyakit hati yang dapat merusak nilai ibadah), tahalli (menghiasi diri dengan akhlaq terpuji agar terwujud insan kamil), dan tajalli (pemantapan dua tahap sebelumnya sehingga dapat penyatuan dengan Tuhan).

Setelah melihat semua proses yang dilakukan oleh seorang murid di atas, maka Allah akan menembus qalbu murid dengan cahaya-Nya sehingga banyak karunia serta anugrah yang terlimpahkan untuk murid. Selain itu banyak tabir ketuhanan akan terbuka. Sebagian ulama menyebut tajalli sebagai ma’rifat yang dapat mengetahui rahasia ketuhanan dalam segala aspek di seluruh semesta ini. Manusia hanya bisa berusaha menjadi insan yang lebih baik dari hari ke hari, dikarenakan ma’rifah itu hak mutlak Allah yang tidak terikat oleh aturan kepada siapa akan diberikan.

2.      Biografi Imam al Ghazali

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al Ghazaly adalah nama asli dari Imam al Ghazali yang dilahirkan di Khurasan sekitar abad ke-5 H. Ayah al Ghazaly adalah seorang yang wara’ dengan pekerjaan sebagai perajut dan penjual benang wol.[5] Ketika masih kanak-kanak, ayah al Ghazaly meninggal dunia dan ayahnya ini telah menitipkan al Ghazali kepada temannya yang ahli sufi serta diperbolehkan menggunakan harta peninggalkan ayahnya untuk mengurus kehidupan al Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.

Di Thuz, Imam al Ghazali memulai pendidikannya. Kemudia beliau pindah belajar ke Naisabur sampai akhirnya beliau menjadi dosen saat berusia 25 tahun.[6] Nama al Ghazali semakin membumi di Baghdad karena al Ghazali membentuk forum pengajian. Namun, pada masa itu juga al Ghazali mengidap skeptikisme terhadap semua empiris dan rasional makrifah. Selanjutnya al Ghazali melepaskan semua jabatannya dan hijrah ke Damaskus untuk beruzlah atau mengisolasi diri. Tahun 490 H (1098 M) al Ghazali berziarah ke makam nabi Ibrahim dan ke makam Rasulullah SAW. Tanpa disangka al Ghazali terlepas dari skeptikisme dan beralih mendalami tasawuf.[7]

Al Ghazali kemudian melanjutkan hijrah ke Syams, Damaskus, Mesir, kembali ke Thus untuk mendirikan padepokan sufi dan al Ghazali meninggal dunia di kota ini. Selama hidup, al Ghazali memiliki banyak karya, diantaranya: Ihya’ Ulumud-Din, Tahafut Al Falasifah, Al-Iqtishad fi Al-‘Itiqad, Al-Munqidz min adh-Dhalal, Jawahir al-Qur’an, Mizan al-‘Amal, Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna, Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah, dan Al-Qisthas al-Mustaqim.

Pemikiran Imam al Ghazali

Menurut al-Ghazali ada beberapa tahapan yang harus ditempuh murid calon sufi. Tahap pertama yaitu taubat dalam hal keilmuan, sikap dan tindakan murid. Ketiga hal ini dapat menjadi sumber dosa besar apabila tidak diatur sebaik mungkin sesuai dengan anjuran syariat. Pun dari ketiga hal ini dapat menjadi pintu terbesar manusia terjerat penyakit hati.  Taubat harus dilakukan murid dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.[8]

Tahap kedua yaitu sabar. Sabar yang dimaksud adalah sabar dalam menghadapi tiga daya yang menjalar dalam tubuh manusia, diantaranya yaitu daya nalar, daya dorongan yang menghasilkan sikap baik dan daya yang menghasilkan sikap buruk. Tugas manusia harus meminimalisir daya yang menghasilkan sikap buruk agar dapat diubah menjadi daya penghasil sikap baik.

Tahap ketiga yaitu kefakiran atau ketidakmampuan. Dalam tahap ini murid harus menghindarkan dirinya dari hal-hal yang diperlukannya untuk mendukung kehidupan. Seperti dalam contoh hal makanan, seorang murid harus dengan teliti memeriksa kehalalan makanan yang akan dimakan. Murid harus menolak untuk memakan makanan yang haram atau syubhat karena makanan tersebut dapat menjauhkan cahaya keilmuan dari Allah.

Tahap keempat yaitu zuhud. Zuhud ini adalah penerapan pola hidup sederhana menghindari kegemerlapan duniawi dan fokus pada urusan ukhrowi. Dengan menerapkan pola hidup zuhud maka manusia akan terbebas fikirannya dari banyak memikirkan urusan duniawi dan dapat lebih fokus dalam beribadah sebagai bekal akhirat.

Tahap kelima yaitu berserah diri atau tawakal. Sikap tawakkal hanya akan muncul dari keyakinan yang kuat kepada Allah. Kehidupan manusia jelas telah diatur oleh penciptanya dan manusia hanya mampu berusaha semaksimal usahanya. Manusia harus yakin dibalik kesulitan hidup ini masih terkandung kemudahan yang dapat dipetik. Selanjutnya manusia dilarang untuk meratapi nasib buruknya setelah memutuskan untuk bertawakkal kepada Allah.

Tahap keenam yaitu makrifat. Makrifat diartikan sebagai tahap  mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh oleh akal akan kalah kuantitas dan kualitasnya apabila dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh dari hasil makrifat. Menurut al Ghazali, ma’rifat menjadi alasan utama munculnya mahabbah kepada Allah.[9]

Menurut al Ghazali, murid harus istiqamah untuk melakukan tirakat seperti menahan lapar haus, hidup menyendiri, tidak tidur di malam hari, giat beribadah di malam hari, dan benar-benar menjaga hatinya dari penyakit hati. Pada saat sendiri, manusia cenderung menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.

Makrifatullah akan mempengaruhi gerak raga murid sebagai esensi dari pendekatan kepada Allah yang telah ia lakukan. Makrifat difahami sebagai ketahuan manusia terhadap tabir keilahiyahan terkait aturan-aturan Allah yang mengikat segala makhluq di alam semesta. Untuk menjaga makrifat ini, murid dapat senantiasa melakukan dzikrullah agar Allah senantiasa bersamanya.[10]

Sarana yang dapat digunakan untuk meraih makrifat adalah hati. Karena hati merupakan bagian tubuh yang dapat menerima percikan rohani ketuhanan. Menurut al Ghazali, hati juga dapat berperan sebagai cermin untuk mencerminkan cahaya keilahiyan yang mengenai hati murid. Namun apabila hati ini kotor maka hati tidak dapat berperan sebagai cermin untuk mencerminkan cahaya keilahiyan.

Setelah murid menjadi tahu akan pengetahuan keilahiyan, maka murid tersebut harus mampu fana kepada Allah melalui pengetahuannya tersebut. Dengan berbekal pengetahuan ini, murid dapat mempebaiki sikap dan etikanya menjadi lebih bermoral dan beretika.

Konsep cinta menurut al Ghazali sebagai buah pengetahuan tadi. Sehingga tidak ada cinta yang hadir kecuali dari implikasi dari pengetahuan yang telah didapatkan oleh murid. Tidak ada yang layak dicintai manusia di dunia ini kecuali Allah. Kemudian ada tiga macam manusia yang dapat ditarik dari konsep ini: Pertama, kaum awam yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga kaum ahli debat (ahl al-jadl).

Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk (almauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).  Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi manusia ke adalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.

C.    Tokoh Tasawuf Irfani

1.      Biografi Robi’ah al Adawiyah

Robiah al Adawiyyah adalah julukan yang diberikan kepada Umm al Khair bin Ismail al Adawiyyah al Qaisiyyah yang dilahirkan pada tahun 95 H (717 M) di Bashra. Apabila ditinjau dari namanya, Robiah merupakan anak keempat dan berasal dari keluarga yang kekurangan. Konon diceritakan bahwa ketika kelahiran Robiah, dalam rumahnya tidak ada satupun lampu penerangan dan tidak ada kain untuk digunakan persalinan. Anggota keluarga yang lain dan tetangga pun tidak ada yang membantu persalinan ibu Robiah karena ayah Robiah malu untuk meminta bantuan kepada manusia.

Robiah tumbuh menjadi anak yang religius karena secara tidak langsung meniru perilaku ayahnya yang juga religius. Selain itu, Robiah tumbuh menjadi anak yang cerdas dibanding teman-temannya. Namun, Robiah kecil sudah suka menyendiri dan mengasingkan diri.[11] Tidak lama setelah kejadian itu, ayah dan ibu Robiah wafat dan Robiah menjadi yatim piatu yang hidup bersama ketiga saudara perempuannya. Tidak ada peninggalan dari kedua orangtuanya yang bisa membantu kehidupan Robiah dan saudara-saudaranya kecuali sebuah perahu kecil.

Setelah beranjak dewasa, Robiah bekerja menjadi budak yang dijual seharga 6 dirham oleh majikannya ketika Bashra mengalami kekeringan. Robiah melarikan diri dari majikan barunya karena dipekerjakan secara berlebihan. Saat dalam perjalanan melarikan diri, Robiah mendengar suara ghaib yang berkata bahwa Robiah memiliki kedudukan yang tinggi kelak di akhirat sehingga meminta Robiah menguatkan diri bekerja bersama majikan barunya.

Ada kisah yang menceritakan bahwa suatu malam sang majikan terbangun dan mengintip kamar Robiah, sang majikan melihat Robiah sedang bersujud dengan lampu yang menggantung di atas kepala Robiah. Sinar lampu tersebut mampu menerangi seluruh rumah sehingga membuat sang majikan membebaskan Robiah keesokannya. Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa Robiah tidak menikah sampai akhir hayatnya dan dikatakan juga bahwa Robiah wafat pada tahun 185 H saat usianya 90 tahun di Basrah.[12]

Pemikiran Robiah al Adawiyah

Konsep cinta atau mahabbah adalah konsep yang dikenalkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyah sebagai tokoh sufi wanita termasyhur. Ada beberapa tahapan yang dilakukan Rabiah untuk mencapai mahabbah dan makrifatullah seperti yang dilakukan oleh banyak ulama sufi sebelum-sebelumnya. Tahapan dasar yang dilakukan oleh Rabiah yaitu zuhud atau hidup sederhana dan menjauhi gemerlap dunia. Ulama sufi lainnya menempatkan tahap pertama yaitu taubat dan Rabiah berbeda untuk penempatan ini. Menurut Rabiah, apabila taubat yang dimaksudkan adalah taubat yang dilakukan oleh ahli maksiat, maka itu adalah anugerah yang diberikan oleh Allah.

Tahap kedua yang ditempuh oleh Rabiah adalah ridha. Ridha yang dimaksud Rabiah adalah hati yang menerima segala ketentuan yang ditetapkan Allah untuknya berupa kebahagiaan maupun kesengsaraan dengan mempertahankan berbaik sangka kepada Allah.

Tahap ketiga yang ditempuh Rabiah adalah ihsan. Ihsan yang dimaksud ini adalah perasaan seakan-alan dapat melihat Allah ketika melakukan ibadah atau perasaan dirinya sedang dilihat oleh Allah saat beribadah. Dari sinilah asal muasal konsep mahabbah kepada Allah yang awalnya Rabiah mengharapkan pahala dan surga ketika beribadah dan menjauhi dosa serta neraka. Kemudian Rabiah meluaskan konsep mahabbahnya ini menjadi konsep cinta yang tidak mengharapkan apa-apa. Perenungan Rabiah membawa Rabiah pada kesadaran bahwa cinta kepada Allah adalah cinta yang wajib ditunaikan oleh hamba.

Ada dua macam cinta menurut Rabiah, yaitu cinta karena dorongan nafsu dan cinta karena ingin mengagungkan cintanya. Dengan konsep mahabbah semacam inilah tidak ada ruang di hati Rabiah untuk membenci makhluk lain walaupun setingkat iblis yang telah menggoda manusia sejak nabi Adam diciptakan. Dalam hati Rabiah hanya terisi oleh satu nama yaitu Allah. Dzikir Rabiah tidak lekang oleh ruang dan waktu mengingat Kekasihnya.

2.      Biografi Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi memiliki nama lengkap Maulana Jalaluddin Muhammad bin Husain al Khattabi al Bakri yang lahir di daerah Balkh atau yang dikenal sebagai Afganistan sekarang pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H (30 September 1207 M).[13] Ayah Rumi bernama Bahauddin Walad yang masih keturunan dari Abu Bakar dan ibunya berasal dari kerajaan Khwarazm.

Ayah Rumi merupakan seorang ulama besar madzhab hanafi yang juga seorang cendekiawan shalih dan mistikus berfikiran maju sehingga memunculkan keirian dari sebagian ulama. Bahauddin Walad kemudian difitnah dan diadukan ke penguasa sampai Bahauddin sekeluarga harus meninggalkan Balkh dan pergi ke daerah Khurasan, yakni berpindah-pindah ke Wakhsy, Tirmidz dan Samarkand.[14]

Ketika keluarga ini singgah ke Naisabur, Syekh Fariduddin Attar yang merupakan seorang penyair terkenal menyambut mereka. Melihat kepribadian Rumi, Syekh Fariduddin Attar menjadi kagum dan memberi Rumi kitabnya yang berjudul Asrar Namih (Book of Secret) dan meramal Rumi akan menjadi orang yang terkenal di dunia.

Tujuan hijrah selanjutnya adalah ke Baghdad yang hanya disinggahi keluarga Rumi selama tiga hari dan melanjutkan hijrah ke Hijaz, dan menetap cukup lama di Syam. Seiring dengan serangan tentara Mongol, maka Bahauddin Walad sekeluarga memutuskan untuk pindah ke kota Konya. Sesampai di Konya, Sultan Alauddin Kaiqubad memuliakan kedatangan Bahauddin Walad sekeluarga. Selang tiga tahun di Konya, Bahauddin Walad meninggal dunia dan Rumi menggantikan peran ayahnya untuk mengajar keilmuan.

Pada tahun selanjutnya (1232 M), Burhanuddin Muhaqqiq yang menjadi murid Bahauddin Walad dari daerah dekat Vakhsh pergi ke Konya untuk menemui gurunya. Mendapati berita kematian gurunya, Muhaqqiq menjadi guru keislaman bagi Rumi. Selama belajar kepada Muhaqqiq murid ayahnya, Rumi juga belajar ke Damaskus dan Aleppo. Setelah itu Rumi dikenal sebagai Maulana (Tuanku).[15]

Pada 2 November 1244 M, Syams Tabriz mengembara di kota Konya yang akan menjadi teman seperjuangan Rumi. Syams adalah seorang cendekiawan di bidang al Quran, seorang teolog, dan seorang ahli dalam misteri sufi. Rumi segera tergila-gila dengan ajaran sufi Syams yang luar biasa dan meninggalkan tugasnya sebagai guru besar hukum dan agama Islam. Rumi belajar pada Syams kurang lebih empat tahun ketika usia Rumi menginjak 40 tahun. Menurut pemahaman sufi, usia 40 adalah usia kematangan spiritual seperti halnya Rasulullah SAW yang menerima wahyu pada usia 40 tahun. Bagi Rumi, Syams adalah matahari yang menyinari jalan menuju Kebenaran Sejati.[16]

Terinspirasi oleh pertemanan ini, Rumi mulai menulis puisi berlirik panjang. Akhirnya, lirik atau ghazal ini berubah menjadi kumpulan yang kemudian dikenal sebagai Divan-i Syams-i Tabrizi (buku puisi Syams) karena banyak dari ghazal-nya memuat namanya sebagai tanda tangandi akhir puisi tersebut. Terpesona dalam cinta untuk Syams, yang Rumi puji dengan banyak kekaguman, Rumi mengadopsi nama tuannya sebagai nama samarannya sendiri.

Setelah kurun waktu kurang lebih empat tahun itu, Syams beranjak meninggalkan Rumi seorang diri untuk melatih diri Rumi namun Rumi terlihat seperti kehilangan pegangan.[17] Kemudian, Syams meninggalkan Rumi untuk kedua kalinya dengan sebagian sumber menyebutkan Syams dibunuh oleh murid-murid Rumi yang cemburu kepada Syams. Rumi tidak dapat menjalani kehidupan yang sepi sehingga Rumi bersahabat dengan Salahuddin Zarkub murid ayahnya dahulu namun dari persahabatan ini Rumi merasa tidak ada yang bisa menggantikan posisi Syams dalam hidupnya. Setelah itu Rumi berlabuh pada muridnya yang bernama Husamuddin Celebi yang menuliskan syair-syair Rumi ke dalam tulisan dengan judul Matsnawi-ye Ma’nawi (Matsnawi Pengungkap Rahasia Segala Sesuatu). Berikut ini karya-karya Rumi semasa hidupnya: Maqalat-i Syams-i Tabriz, Matsnawi, Divan-i Syams-i Tabriz, Masnav-i Ma'nawi, Rubaiyyat, Maktubat, dan Fihi Ma Fihi.

Pemikiran Jalaluddin Rumi

Menurut Rumi, manusia diciptakan dari keadaan ketidak berwujudan yang diubah oleh Allah menjadi keadaan berwujud. Perubahan dari ketidak berwujudan menjadi wujud ini merupakan berkah yang Allah berikan kepada manusia. Rumi pun menambahkan bahwa penciptaan manusia merupakan manifestasi sebagain dari Dzat-Nya karena tujuan Allah menciptakan makhluk agar mengenali diri-Nya.

Ada dua pola pemikiran Rumi antara cinta dan penciptaan alam semesta ini. Pertama, berdasarkan cinta maka Allah menciptakan seluruh semesta untuk mengagungkan nama-Nya (berdzikir kepada-Nya). Kedua, seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk menunjukkan cinta-Nya. Terlebih kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Lebih spesifiknya, cinta adalah perasaan paling dasar manusia yang terlihat sejak manusia dilahirkan di muka bumi. Tanpa ilmu melihat dan mendengar, seorang bayi telah mampu mengenali mana ayah ibunya dan mana orang lain. Meskipun begitu, cinta dijadikan Allah sebagai alat untuk merefleksikan semua Dzat-Nya agar lebih mudah difahami oleh manusia.

Konsep cinta Rumi ini sedikit berbeda dengan konsep cinta atau mahabbahnya Rabiah. Pemilik cinta menurut Rumi ini melingkupi seluruh makhluq ciptaan Allah. Dengan cinta ini besar harap Allah agar manusia berusaha memperbaiki dirinya menjelang hari kematian. Hari kematian pun bukan menjadi hari akhir yang menjadi ujung kehidupan manusia, melainkan menjadi hari bahagia seorang pecinta menemui pecintanya. Dalam salah satu puisi karya Rumi, beliau menyebutkan bahwa alunan suling bambu itu adalah perasaan rindu karena cinta yang akan menyampaikan kerinduannya kepada yang dicintanya, yaitu Allah.

Kelebihan dari cinta yakni dapat mempercepat kenaikan maqam atau kedudukan seseorang menjadi lebih alim dan lebih makrifat kepada Allah. Seperti yang telah banyak diketahui bahwa Allah-lah yang mengajarkan Adam semua nama ciptaan-Nya. Dengan pengajaran ini Adam menerima langsung pengajaran ‘makrifat’ oleh Allah.

Disamping itu, dengan dasar cinta inilah Rumi mengemukakan kehidupan manusia akan terasa lebih damai. Dengan mengutamakan cinta dalam kedudukan pertama maka toleransi akan mudah direkatkan kepada sesama manusia dan makhluq hidup lainnya. Dengan cinta, maka pendendam akan memudarkan dendamnya dan mulai hidup dengan lebih damai. Ada kutipan Rumi yang mengatakan bahwa luka adalah tempat dimana cahaya masuk. Luka yang dimaksud adalah kekecewaan terhadap dunia dan cahaya yang dimaksud adalah perasaan ingin kembali kepada Allah serta memperindah sikap lakunya yang kemudian Allah memang memberkahinya dengan cinta-Nya. Namun, untuk term makrifat dalam konsepsi Rumi tetap menjadi hak mutlak Allah yang misterius akan diberikan kepada hamba yang mana.

D.    Tokoh Tasawuf Falsafi

1.      Biografi Al Hallaj

Al Hallaj adalah julukan yang diberikan kepada Abu al Mughis al Husain ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi yang lahir di Baidha salah satu kota kecil di Persia pada tahun 858 M (244 H).[18] Dari kecil sampai usia 16 tahun, al Hallaj menetap di kota Wasith dekat Baghdad dan menyempatkan untuk berguru kepada Sahl bin Abdullah at Tustur yang merupakan seorang sufi besar dari negeri Ahwaz. Kemudian al Hallaj hijrah ke Basrah dan berguru kepada Amr al Makki. Pada usia 20 tahun, al Hallaj berguru kepada Junaid al Baghdadi yang tersohor sebagai sufi besar.

Al Hallaj memiliki semangat yang besar untuk mempelajari tasawuf kepada guru-guru sufi besar dan untuk melakukan ibadah haji terbukti dengan melakukan ibadah haji sampai tiga kali. Semenjak Al Hallaj di Mekkah inilah al Hallaj memulai pemikirannya untuk penyatuan dengan Tuhan dan menyebarkan pemikirannya kepada orang lain. Penguasa Mekkah merasa adanya ancaman dengan penyebaran pemikiran al Hallaj sehingga penguasa Mekkah membawa pulang al Hallaj ke Baghdad.[19]

Karya-karya al Hallaj sebagai berikut ini: Al ahruf al Muhaddatsah wal Azaliyah wal Asma al Kulliyah, Kitab Al-Wal-Tauhid, Kitab Madhal Nabi wa al Hatsal al-A’la, Kitab Al-Abl wa al-Fana, Kitab Al-Ushul wa al-Furu’, Kitab Al Shayhur Fi Naqshid Duhur, Kitab Al-Abad wa Ma’bud, Kitab Kayfa Kana wa Kayfa Yakun, Kitab Huwa Huwa, Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid, Kitab Thawasin al-Azal, dan lain-lain.

Pemikiran al Hallaj

Pemikiran al Hallaj yang terkenal adalah konsepnya al hulul yang mengungkap bahwa Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk ditempati dan manusia tersebut sudah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang melekat dalam dirinya melalui jalan fana. Setelah manusia tersebut fana, maka langkah selanjutnya yaitu menempuh jalan fana al fana dan melebur ke dalam nilai-nilai ketuhanan sepenuhnya. Konsep mengambil tempat tersebut berasal dari pandangan al Hallaj tentang manusia yang terdiri dari sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Sifat kemanusian yang ditinggalkan oleh manusia adalah sifat manusia yang buruk dan tidak terpuji sehingga sifat kemanusiaan yang tercermin adalah sifat ketuhanan.

Menurut al Hallaj, konsep tersebut berkaca dari proses penciptaan nabi Adam yang awal mulanya berasal dari Dzat Allah sendiri sehingga tubuh nabi Adam yang terlihat pun sebagiannya berasal dari Dzat ketuhanan. Itulah yang menjadi dasar mengapa iblis yang tidak mau sujud kepada Nabi Adam dikeluarkan dari surga.

Ada dua macam hulul:

a.       Hulul Jawari yaitu keadaan suatu hal yang menempati ruang kosong dalam hal lainnya. Sehingga terdapat dua hal dalam hulul macam ini.

b.      Hulul Sayarani ialah menyatukan dua hal dalam satu tempat seperti halnya air yang diserap oleh tumbuhan. Hulul macam inilah yang dikembangkan oleh Al Hallaj.

Hal kedua yang disorot oleh al Hallaj yaitu Nur Muhammad yang menjadi tolak ukur adanya penciptaan atas segala sesuatu di seluruh semesta ini. Dalam perspektif al Hallaj, Nur Muhammad bersifat azali dan qadim sedangkan Muhammad bersifat sebagai manusia yang memiliki badan.[20] Nur Muhammad ini diciptakan oleh Allah menggunakan Dzat-Nya sehingga pembahasan nur Muhammad ini memang berasal dari Allah dan sebagian dari Dzat-Nya yang tidak terpisah dalam semua ciptaan Allah yang berasal dari nur Muhammad.

2.      Biografi Ibn Arabi

Ibn Arabi atau Ibn Suraqah adalah julukan yang disematkan kepada Muhammad ibn Ali ibn Muhammad Muhyiddin ibn Arabiat Tha’i al Hatimi yang lahir di Murcia bagian Spanyol Tenggara pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/1164 M era kepemimpinan bani Umayyah.[21] Latar belakang keluarnya adalah keluarga yang sangat shalih dan mencintai keilmuan. Sehingga tidak mengherankan saat Ibn Arabi masih berusia delapan tahun berangkat menuju kota Lisabon untuk mengenyam pendidikan pertamanya yaitu belajar membaca al Quran dan belajar hukum-hukum Islam dari Syaikh Abu Bakr Ibn Khallaf.

Sejak kecil Ibn Arabi sudah terlihat sebagai anak yang cerdas dan mudah memahami pelajaran serta mengamalkan pelajaran yang diberikan. Selain belajar, Ibn Arabi juga berkunjung ke beberapa kota yang ada di Andalusia, seperti di kota Cordova yang menjadi tempat pertemuan Ibn Arabi dengan Ibn Rusyd ketika menjadi qadi. Ketika pertemuan itu, Ibn Arabi mampu mengalahkan Ibn Rusyd saat berdebat dan bertukar wawasan.[22] Setelah belajar di Lisabon, Ibn Arabi pindah ke Sevilla daerah Andalus bagian barat yang menjadi pusat para sufi di Spanyol selama kurang lebih 30 tahun. Di Sevilla ini, Ibn Arabi mempelajari ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu tasawuf.

Ketika mempelajari ilmu tasawuf, Ibn Arabi mulai menulis karya-karyanya seperti Futuhat al Makkiyah (Penyingkapan-penyingkapan Rohani di Makkah), Fushush al Hikam (Permata-permata Hikmah), Syajarat al Kaun (Pohon Kejadian), Tarjuman al Asywaq, Insya’ Al Dawair, Uqlah al Mustawfiz, Tadribat al Ilahiyyah, Rasail ibn al Arabi, Kitab al Isra’ (Perjalanan Malam), Hilyat al Abdal (Perhiasan Para Pengganti), Risalat al Anwar (Risalah Cahaya-cahaya), Kitab al Fana’ fil Musyahadah, Istilahat as Shufiyyah, Ruh al Quds, al Durrah al Fakhirah, Kitab al Alif, Kitab al Ba’, Kuab al Ya’, Fihrist al Mu’allafah.

Ibn Arabi wafat pada tanggal 28 Rabiul Akhir 638 H atau tanggal 16 November 1240 di Damaskus saat usia Ibn Arabi 78 tahun. Pemakaman Ibn Arabi dilakukan di kota Salihiyah bagian utara Damaskus. Semasa Ibn Arabi hidup bersamaan dengan waktu hidup Najmuddin ar Razi, Suhrowardi, Abu al Hasan al Maghrib as Syadzili, Ibnu Faridh, dan Muslihuddin.

Pemikiran Ibn Arabi

Ajaran utama Ibn Arabi yaitu kesatuan wujud atau wahdatul wujud yang menyatakan bahwa sejatinya wujud itu hanya satu yaitu wujud yang sejati: Allah (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan.

Dalam karya Ibn Arabi disebutkan bahwa wajah hanya satu dihadapan ribuan cermin yang mendapat pantulan wajah dari posisi dan sudut yang berbeda sehingga menghasilkan cerminan wajah yang beraneka-ragam. Inti dari ajaran ini menekankan bahwa wujud yang haqq hanya satu yakni wujud Allah dan wujud dari pencerminan itu hanya semu yang berasal dari bayang-bayang Allah. Lebih lanjut, Ibn Arabi menuturkan bahwa antara Tuhan dan hamba yang menyembah adalah satu hakikatnya yakni Tuhan seorang. Yang menjadikan beda pendapat adalah sudut pandang yang diambil manusia dalam memahami hal tersebut dan berakibat dualitas pandangan sebagai Yang Disembah dan penyembah.

Hampir sama dengan konsep yang dikemukakan oleh Al Hallaj bahwa konsep ini pun berawal dari pernyataan bahwa Allah ingin dikenali sehingga menciptakan makhluk dari sebagian Dzat-Nya. Menurut pandangan Ibn Arabi alam dijadikan sebagai media untuk mengenal-Nya karena Allah adalah khazanah tersembunyi yang rindu untuk dikenali oleh ciptaan-Nya.

Konsep yang diusung oleh ibn Arabi adalah konsep Insan kamil atau manusia sempurna. Insan kamil merupakan suatu istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk menyebut keadaan orang lain yang telah sampai pada tingkatan tertinggi sehingga menjadi manusia seqadratnya manusia. Insan kamil ini telah fana kepada Allah karena orang itu sadar bahwa dirinya hanya percikan Dzat Penciptanya. Menurut ibn Arabi, manusia merupakan makhluq Allah yang paling sempurna ditajallikan Dzat-Nya. Tubuh manusia dianggap sebagai mikro-kosmos yang diartikan lebih jauh sebagai kosmos dalam bentuk kecil apabila dibandigkan dengan makro-kosmos. Dengan alasan ini pula Allah menjadikan manusia sebagai wakilnya untuk menjaga seluruh muka bumi ini.

Menurut Ibn Arabi, ada beberapa tahap yang harus ditempuh seorang murid untuk mencapai makrifatullah. Tahap pertama, murid tersebut telah mengetahui asma Ilahiyyah. Tahap kedua, murid mengetahui tajalli ilahiyyah. Tahap ketiga, murid mengetahui ta’lif Tuhan terhadap hamba-Nya. Tahap keempat, murid mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam wujud alam semesta. Tahap kelima, murid mengetahui dirinya sendiri dari aspek terluar sampai terdalam. Tahap keenam, murid mengetahui pengetahuan tentang alam akhirat setelah manusia dicabut nyawa. Tahap ketujuh, murid mengetahui sebab munculnya penyakit hati dan obat dari penyakit hati.

Makrifat menurut ibn Arabi baru akan menimbulkan cinta dalam diri makhluq. Cinta menjadi puncak perjalanan setelah makrifat. Dengan berbekal cinta ini maka manusia dapat menjadi insan kamil dan menyebarkan cinta ke seluruh semesta dan ke seluruh makhluq. Selain itu, cinta menjadi segala sumber alasan Allah menciptakan seluruh semesta, menggerakkan seluruh makhluq, sampai menjadi alasan semua makhluq kembali kepada penciptanya.

 

E.     Kesimpulan

1.      Syaikh Abd Al Qadir al Jailani membawa konsep tasawuf berorientasi pada masalah moral yang bersumber dari Quran dan Sunnah baik yang batin maupun dzahir. Ada tahapan yang dapat dilakukan murid untuk mencapai makrifatullah yaitu dengan takhalli, tahalli dan tajalli.

2.      Imam al Ghazali membawa konsep tasawuf yang berlandaskan syariat. Dengan melakukan syariat secara rajin dan kontinuitas, murid dapat meraih makrifat dengan menerapkan beberapa tahapan sufi. Murid juga dianjurkan untuk selalu tirakat agar mempermudah dan mempercepat proses makrifatnya.

3.      Rabiah al Adawiyah membawa konsep cinta (mahabbah ilallah) yang menekankan kepada gaya hidup yang sederhana dan selalu menerima apapun ketentuan Allah yang ditetapkan kepada dirinya. Cinta bisa menjadi alasan utama seorang hamba mendapatkan makrifatullah.

4.      Jalaluddin Rumi membawa konsep cinta (isyq) yang dapat diterapkan oleh seluruh makhluq. Dengan cinta ini dapat mengantarkan seluruh makhluq kembali kepada pecintanya yang sejati yaitu Allah.

5.      Al Hallaj membawa konsep hulul yang menitik beratkan bahwa nur muhammad dan segala ciptaan berasal dari Dzat Yang Satu yakni Allah Al Haqq sehingga ciptaan pun turut menjadi suatu kebenaran karena berasal dari Yang Maha Kebenaran.

6.      Ibn Arabi terkenal dengan konsep ittihad dan wahdatul wujud dengan perumpaan wajah yang sedang bercermin menggunakan banyak cermin yang dapat mengakibatkan pencerminan yang beragam. Segala wujud itu semu kecuali wujud dari wajah dari yang Maha Benar. Dan manusia yang tubuhnya mencakup mikrokosmos sebagian dari makrokosmos merupakan perwujudan dari insan kamil atau manusia sempurna karena diciptakan dari bagian semesta agung.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jailani, A. Q. (2014). Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar. Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah.

Arabi, I. (1999). Pohon Semesta (Teori-teori Penciptaan Alam). Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif.

Hamka, Z. (2018). Husain al Hallaj dan Ajarannya. Ash Shahabah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 4, No. 2.

Lewisohn, L. (2014). The Philosophy of Ecstasy: Rumi and the Sufi Tradition. United States of America: World Wisdom.

Muzayanah, F. (2021). Integrasi Konsep Tasawuf-Syariat Syaikh Abdul Qadir al Jailani (Qutubul Auliya). Mozaic: Islam Nusantara, Vol. 7, No. 1.

Rumi, J. (2014). Puisi-puisi Sufistik Jalaluddin Rumi. Bandung: Sega Arsy.

-----------. (2018). Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan. Yogyakarta: Forum.

-----------. (2018). Matahari Diwan Syams Tabrizi: Terbang bersama Cahaya Cinta dan Duka Cinta. Yogyakarta: Forum.

Soleh, A. (2004). Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulaeman, M. (2020). Pemikiran Tasawuf Falsafi Awal: Rabiah al Adawiyyah, al Bustami, dan al Hallaj. Refleksi, Vol. 20, No. 1.

Supriyadi, D. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Sururin. (2002). Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suryadilaga, A. (2008). Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras.

Zaini, A. (2016). Pemikiran TAsawuf Imam Al Ghazali. Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, Vol. 2, No. 1.

Zar, S. (2015). Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany (Kairo: Dar ar-Rayyan li at-Turats, tt), h. 5 bisa dilihat dalam kitab Futuhul Ghoib, maktabah wa matba’ah mushtofa al-Yabi, tt h. 3 dan kitab Tafsir Al-Jailani, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 2014, hlm. 5

[2] Abdul Qadir Al-Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, hlm.3

[3] Fitrotul Muzayanah, "Integrasi Konsep Tasawuf-Syariat Syaikh Abdul Qadir al Jailani (Qutubul Auliya)", Mozaic: Islam Nusantara, Vol. 7, No. 1, 2021, hlm. 11

[4] Al-Sya’roni, Thabaqat al-Kubra, tt., hal. 109.

[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 144.

[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 160-161.

[7] Ahmad Zaini, "Pemikiran TAsawuf Imam Al Ghazali", Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, Vol. 2, No. 1, 2016, hlm. 151.

[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm. 163.

[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm. 165.

[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm. 167.

[11] Mubaidi Sulaeman, "Pemikiran Tasawuf Falsafi Awal: Rabiah al Adawiyyah, al Bustami, dan al Hallaj", Refleksi, Vol. 20, No. 1, 2020, hlm. 4.

[12] Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 20.

[13] Jalaluddin Rumi, Puisi-puisi Sufistik Jalaluddin Rumi, (Bandung: Sega Arsy, 2014), hlm. 11.

[14] Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan (Yogyakarta: Forum, 2018), hlm. 5.

[15] Leonard Lewisohn, The Philosophy of Ecstasy: Rumi and the Sufi Tradition, (United States of America: World Wisdom, Inc., 2014), hlm. x.

[16] Jalaluddin Rumi, Matahari Diwan Syams Tabrizi: Terbang bersama Cahaya Cinta dan Duka Cinta, (yogyakarta: Forum, 2018), hlm. 6.

[17] Haidar Bagir, Mereguk Cinta Rumi, (Jakarta Selatan: PT Mizan Republika, 2016), hlm. xii.

[18] Zainuddin Hamka, "Husain al Hallaj dan Ajarannya", Ash Shahabah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 4, No. 2, 2018, hlm. 184.

[19] Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 167

[20] Zainuddin Hamka, "Husain al Hallaj dan Ajarannya", hlm. 187.

[21] Ibnu Arabi, Pohon Semesta (Teori-teori Penciptaan Alam), (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1999), hlm. viii.

[22] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 138.

Komentar