Hikmatut Tasyri’: 5 Dalil, Tafsir Dan Hikmahnya


1.      Dalil Pertama
·         Dalil QS. Al Baqarah: 286
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
·         Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah: 286)
·         Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah SWT: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ (“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”) Artinya, Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Ini merupakan kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan-Nya terhadap makhluk-Nya. Dan ayat inilah yang menasakh apa yang dirasakan berat oleh para sahabat Nabi, yaitu Surah Al Baqarah ayat 284 وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ  yang artinya: “Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatanmu itu.” Maksudnya, meskipun Dia menghisab dan meminta pertanggung-jawaban, namun Dia (Allah) tidak mengadzab melainkan disebabkan dosa yang seseorang memiliki kemampuan untuk menolaknya. Adapun sesuatu yang seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya seperti godaan dan bisikan jiwa (hati), maka hal itu tidak dibebankan kepada manusia. Dan kebencian terhadap godaan bisikan yang jelek/jahat merupakan bagian dari iman.
Dan firman-Nya lebih lanjut: لَهَا مَا كَسَبَتْ (“la mendapat pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya.”) Yaitu berupa kebaikan yang ia lakukan. وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ (“Dan ia mendapat siksa [dari kejahatan] yang dikerjakannya.”) Yaitu berupa keburukan yang ia perbuat. Hal itu menyangkut amal perbuatan yang termasuk dalam taklif (yang harus dilakukan).
Kemudian Allah berfirman, memberikan bimbingan kepada hamba-hamba-Nya dalam memohon kepada-Nya. Dan Dia telah menjamin akan memenuhi permohonan tersebut. Sebagaimana Dia telah membimbing dan mengajarkan kepada mereka untuk mengucapkan: رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا  (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.”) Yaitu, jika kami meninggalkan suatu kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram karena lupa, atau kami melakukan suatu kesalahan karena tidak mengetahui hal yang benar menurut syariat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, dari Abu Hurairah ra, Beliau saw. bersabda: “[Lalu] Allah pun menjawabnya: ‘Ya.’” (bahwa do’a tersebut langsung dijawab Allah dengan jawaban: “Ya.”-Pent.)
Sedangkan firman-Nya: رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.”) Maksudnya, janganlah Engkau membebani kami dengan amal-amal yang berat meskipun kami mampu menunaikannya, sebagaimana yang telah Engkau syariatkan kepada umat-umat yang terdahulu sebelum kami, berupa belenggu-belenggu dan beban-beban yang mengikat mereka. Engkau telah mengutus Nabi-Mu Muhammad saw, sebagai Nabi pembawa rahmat, untuk menghapuskannya melalui syariat yang dibawanya, berupa agama yang lurus, yang mudah, lagi penuh kemurahan hati.
Firman Allah swt selanjutnya: رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.”) Yaitu, berupa kewajiban, berbagai macam musibah dan ujian. Janganlah Engkau menguji kami dengan apa yang kami tidak mampu menjalaninya.

Firman-Nya lebih lanjut: وَاعْفُ عَنَّا  (“Berikanlah maaf kepada kami.”) Yaitu atas kekhilafan dan kesalahan yang Engkau ketahui yang pernah terjadi antara kami dengan-Mu. وَاغْفِرْ لَنَا  (“Ampunilah kami.”) Maksudnya, kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di antara kami dengan hamba-hamba-Mu. Maka janganlah Engkau memperlihatkan kepada mereka keburukan-keburukan kami dan perbuatan jelek kami. وَارْحَمْنَا (“Dan berikanlah rahmat kepada kami.”) Yaitu, pada segala hal yang akan datang. Maka janganlah Engkau menjatuhkan kami ke dalam dosa yang lain.

Oleh karena itu para ulama berkata, “Sesungguhnya orang yang berbuat dosa memerlukan tiga hal: Ampunan dari Allah Ta’ala atas dosa-dosa yang pernah terjadi antara dirinya dengan-Nya, penutupan-Nya terhadap kesalahannya dari hamba-hamba-Nya yang lain, sehingga Dia tidak mencemarkannya di tengah-tengah mereka dan perlindungan dari-Nya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dosa yang sama.”

Firman Allah swt setelah itu: أَنْتَ مَوْلَانَا  (“Engkaulah penolong kami.”) Maksudnya, Engkaulah pelindung dan pembela kami. Kepada-Mu kami bertawakal. Engkaulah tempat memohon pertolongan, dan kepada-Mu kami bersandar. Tidak ada daya dan kekuatan pada kami melainkan karena pertolongan-Mu. فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (“Maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”) Yaitu orang-orang yang mengingkari agama-Mu, menolak keesaan-Mu dan risalah nabi-Mu, menyembah Ilah selain diri-Mu, serta menyekutukan-Mu dengan hamba Mu. Maka tolonglah kami untuk mengalahkan mereka, hingga pada akhirnya kami mendapatkan kemenangan atas mereka di dunia dan di akhirat. Maka Allah pun menjawab: “Ya.”
·         Hikmah: - Memahami bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allaah sesuai dengan kemampuan kita. – Selalu menyadari kelemahan maupun kelebihan kita di hadapan Allaah SWT. – Mengingat bahwa setiap waktu kita terjerat kekhilafan, hendaknya selalu memohon ampunan kepada Allaah SWT.
Hadits dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)
Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).
2.      Dalil Kedua
·         Dalil Al Maidah ayat 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
·         Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
·         Tafsir Ibnu Katsir: Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi: Di dalam ayat ini terkandung pelajaran etika dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Allah melarang mereka menanyakan banyak hal yang tiada berfaedah bagi mereka dalam mempertanyakan dan menyelidikinya. Karena sesungguhnya jika perkara-perkara yang dipertanyakan itu ditampakkan kepada mereka, barangkali hal itu akan menjelekkan diri mereka dan dirasakan amat berat oleh mereka mendengarnya.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Semoga jangan ada seseorang menyampaikan kepadaku perihal sesuatu masalah dari orang lain, sesungguhnya aku suka bila aku menemui kalian dalam keadaan dada yang lapang."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Munzir ibnul Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarudi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengemukakan suatu khotbah yang belum pernah kudengar hal yang semisal dengannya.
Dalam khotbahnya itu antara lain beliau ﷺ bersabda: Sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian benar-benar sedikit tertawa dan benar-benar akan banyak menangis.
Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu para sahabat Rasulullah ﷺ menutupi wajahnya masing-masing, setelah itu terdengar suara isakan mereka. Kemudian ada seseorang lelaki berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Maka Nabi ﷺ menjawab, ‘Si Fulan.” Lalu turunlah firman-Nya: "Janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal." Imam Bukhari telah meriwayatkannya bukan pada bab ini, begitu pula Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Syu’bah ibnul Hajjaj dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala.:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.,” hingga akhir ayat.
Bahwa telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ hingga beliau dihujani oleh pertanyaan mereka. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka di suatu hari, kemudian menaiki mimbarnya dan bersabda: Tidak sekali-kali kalian menanyakan kepadaku tentang sesuatu pada hari ini, melainkan aku pasti menjelaskannya kepada kalian. Maka semua sahabat Rasulullah ﷺ merasa takut kalau-kalau Rasulullah ﷺ sedang menghadapi suatu perkara yang mengkhawatirkan. Maka tidak sekali-kali aku tolehkan wajahku ke arah kanan dan kiriku, melainkan kujumpai semua orang menutupi wajahnya dengan kain bajunya seraya menangis. Kemudian seseorang lelaki terlibat dalam suatu persengketaan, lalu dia diseru bukan dengan nama ayahnya, maka ia bertanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah sebenarnya ayahku itu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Umar bangkit dan mengatakan, “Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan Allah,” seraya berlindung kepada Allah. Atau Umar mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan fitnah-fitnah.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Aku sama sekali belum pernah melihat suatu hal dalam kebaikan dan keburukan seperti hari ini, telah ditampakkan kepadaku surga dan neraka hingga aku melihat keduanya tergambarkan di arah tembok ini. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur Sa’id. Dan Ma’mar meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal atau mendekatinya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Ummu Abdullah ibnu Huzafah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang anak yang lebih menyakitkan orang tuanya selain kamu. Apakah kamu percaya bila ibumu telah melakukan suatu perbuatan seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, lalu kamu mempermalu­kannya di mata umum?” Maka Abdullah ibnu Huzafah berkata, “Demi Allah, seandainya Rasulullah ﷺ menisbatkan diriku dengan seorang budak berkulit hitam, niscaya aku mau menerimanya.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah sehingga wajahnya kelihatan memerah, lalu beliau duduk di mimbar.Dan berdirilah seorang lelaki, lalu bertanya, “Di manakah ayahku?” Nabi ﷺ menjawab, “Di dalam neraka.” Lalu berdiri pula lelaki lain dan berkata, “Siapakah ayahku?” Nabi ﷺ bersabda, “Ayahmu Huzafah.” Kemudian berdirilah Umar —atau Umar bangkit— dan berkata, “Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Nabi Muhammad ﷺ nabi kami, dan Al-Qur’an sebagai imam kami. Sesungguhnya kami, wahai Rasulullah, masih baru meninggalkan masa Jahiliah dan kemusyrikan, dan Allah-lah yang lebih mengetahui siapakah bapak-bapak kami.” Maka redalah kemarahan Nabi ﷺ, lalu turun firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.” Sanad hadis ini jayyid (baik), dan kisah ini diketengahkan secara mursal oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, antara lain Asbat, dari As-Saddi.
Disebutkan bahwa As-Saddi telah mengatakan sehubung­an dengan makna firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.”
Bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ marah, lalu berdiri dan berkhotbah, antara lain beliau ﷺ bersabda: Bertanyalah kalian kepadaku, maka sesungguhnya tidak sekali-kali kalian menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan memberitahukannya kepada kalian. Maka majulah seorang lelaki Quraisy dari kalangan Bani’ Sahm yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Huzafah yang diragukan nasabnya. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah ayahku yang sebenarnya?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ayahmu adalah si Fulan,” lalu Nabi ﷺ memanggilnya dengan sebutan ayahnya. Maka Umar ibnul Khattab maju ke hadapan Nabi ﷺ, lalu mencium kaki Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami rela Allah sebagai Tuhan kami, engkau sebagai nabi kami, Islam sebagai agama kami, dan Al-Qur’an sebagai imam kami, maka maafkanlah kami, semoga Allah pun memaafkanmu.” Umar terus-menerus melakukan demikian hingga marah Rasulullah ﷺ reda. Dan pada hari itu juga Rasulullah ﷺ bersabda: Anak itu adalah milik firasy (ayah) dan bagi lelaki pezina tiada hak (pada anaknya).
Kemudian Imam Bukhari mengatakan: “Telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Abul Juwairiyah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa pernah ada segolongan kaum yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ dengan memperolok-olokkannya. Seseorang lelaki bertanya, “Siapakah ayahku?” Lelaki lainnya bertanya pula, “Untaku hilang, di manakah untaku?” Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan dengan mereka: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.,” hingga akhir ayat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdul Aziz Abul Gamr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Muti’ Mu’awiyah ibnu Yahya, dari Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan hadis berikut: Bahwa Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan orang banyak, lalu bersabda, “Telah diwajibkan atas kalian melakukan ibadah haji.” Lalu berdirilah seseorang lelaki Badui dan bertanya, “Apakah untuk setiap tahun?” Suara lelaki Badui itu lebih keras daripada suara Rasulullah ﷺ, cukup lama Rasulullah ﷺ diam saja dalam keadaan marah. Kemudian bersabda, “Siapakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki Badui itu menjawab, “Saya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celakalah kamu! Apakah yang menjadi kepercayaanmu jika kukatakan ya? Demi Allah, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan (tiap tahunnya), dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian kafir (ingkar). Ingatlah, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah karena dosa-dosa besar. Demi Allah, seandainya aku halalkan bagi kalian semua apa yang ada di bumi dan aku haramkan atas kalian sebagian darinya sebesar tempat khuf, niscaya kalian akan terjerumus ke dalamnya.” Maka pada saat itu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.” Tetapi di dalam sanadnya terkandung kedaifan (kelemahan). Lahiriah makna ayat menunjukkan larangan menanyakan berbagai hal yang bila dijelaskan jawabannya akan membuat buruk si penanya. Hal yang lebih utama menghadapi hal-hal seperti itu ialah berpaling darinya dan membiarkannya, yakni jangan menanyakannya.
Alangkah baiknya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa: “Telah menceritakan kepada kami Hajjaj, ia pernah mendengar Israil ibnu Yunus menceritakan dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim maula Al-Hamdani, dari Zaid ibnu Za-id, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda kepada para sahabatnya: Jangan ada seseorang menyampaikan sesuatu kepadaku dari orang lain, karena sesungguhnya aku suka bila keluar menemui kalian, sedangkan aku dalam keadaan berhati lapang.” Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi telah meriwayatkannya melalui hadis Israil. Abu Daud mengatakan dari Al-Walid, sedangkan Imam Turmuzi mengatakan dari Israil, dari As-Saddi, dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: "…dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian." Yakni jika kalian menanyakan hal-hal tersebut yang kalian dilarang menanyakannya di saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan hal itu sangat mudah bagi Allah.Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.” Yakni hal-hal yang kalian lakukan sebelum itu.Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Menurut pendapat lain, firman Allah subhanahu wa ta’ala.: "…dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian." Maknanya ialah “Janganlah kalian menanyakan hal-hal yang kalian sengaja memulai mengajukannya, karena barangkali akan diturunkan wahyu disebabkan pertanyaan kalian itu yang di dalamnya terkandung peraturan yang memberatkan dan menyempitkan kalian”.
Di dalam sebuah hadis telah disebutkan: “Orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, lalu menjadi diharamkan karena pertanyaannya itu. Tetapi jika diturunkan wahyu Al-Qur’an mengenainya secara global, lalu kalian menanyakan penjelasannya, niscaya saat itu akan dijelaskan kepada kalian karena kalian sangat memerlukannya. Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.” Yakni hal-hal yang tidak disebutkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hal tersebut termasuk yang dimaafkan. Karena itu, diamlah kalian sebagaimana Nabi ﷺ diam terhadapnya.
Di dalam hadis sahih disebutkan dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: "Biarkanlah aku dengan apa yang kutinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa hanyalah karena mereka banyak bertanya dan sering bolak-balik kepada nabi-nabi mereka (yakni banyak merujuk)." Di dalam hadis sahih yang lain disebutkan pula: "Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala." telah menetapkan hal-hal yang fardu, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya, dan Dia telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan (tidak menjelaskan) banyak hal karena kasihan kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.
·         Hikmah: - Membuat kita lebih berhati-hati untuk menanyakan permasalahan perihal agama. – berbaik sangka kepada Allaah bahwa urusan agama telah termaktub dalam Al-Quran maupun Al Hadits. – Lebih dianjurkan untuk banyak menurut dalam urusan agama.
3.      Dalil Ketiga
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
·         Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
·         Tafsir Al Muyassar: Larangan mendekati lebih dalam daripada larangan melakukan, karena hal ini menunjukkan dilarang pula segala yang mengantarkan kepadanya. Yakni perkara yang dianggap keji baik oleh syara’, akal maupun fitrah manusia, karena di dalamnya terdapat sikap berani terhadap larangan yang terkait dengan hak Allah, hak wanita, hak keluarganya atau suaminya, merusak kasur, mencampuradukkan nasab dan mafsadat lainnya.
·         Hikmah: - Lebih menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenis. – Tidak mendekati zina. – Memelihara silsilah keturunan keluarga. – Menjadikan kita orang yang taat pada hukum Allaah dengan menerapkannya dalam kehidupan kita.
4.      Dalil Keempat
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
·         Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 177)
·         Tafsir Al Jalalain: Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi: (Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu) dalam salat (ke arah timur dan barat) ayat ini turun untuk menolak anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menyangka demikian, (tetapi orang yang berbakti itu) ada yang membaca ‘al-barr’ dengan ba baris di atas, artinya orang yang berbakti (ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab) maksudnya kitab-kitab suci (dan nabi-nabi) serta memberikan harta atas) artinya harta yang (dicintainya) (kepada kaum kerabat) atau famili (anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan) atau musafir, (orang-orang yang meminta-minta) atau pengemis, (dan pada) memerdekakan (budak) yakni yang telah dijanjikan akan dibebaskan dengan membayar sejumlah tebusan, begitu juga para tawanan, (serta mendirikan salat dan membayar zakat) yang wajib dan sebelum mencapai nisabnya secara tathawwu` atau sukarela, (orang-orang yang menepati janji bila mereka berjanji) baik kepada Allah atau kepada manusia, (orang-orang yang sabar) baris di atas sebagai pujian (dalam kesempitan) yakni kemiskinan yang sangat (penderitaan) misalnya karena sakit (dan sewaktu perang) yakni ketika berkecamuknya perang di jalan Allah. (Mereka itulah) yakni yang disebut di atas (orang-orang yang benar) dalam keimanan dan mengakui kebaktian (dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa) kepada Allah.
·         Hikmah: - Kebajikan tidak hanya mengerjakan rukun Iman dan rukun Islam, melainkan saling membantu dan tolong-menolong sesama makhluq Allaah. – Dianjurkannya untuk sabar dalam menghadapi segala masalah. – Berlatih selalu menepati janji-janji yang telah disepakati.
5.      Dalil Kelima
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
·         Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
·         Tafsir Ibnu Katsir: Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi: Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar menegakkan keadilan, dan janganlah mereka bergeming dari keadilan itu barang sedikit pun, jangan pula mereka mundur dari menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan orang-orang yang mencela, jangan pula mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari keadilan. Hendaklah mereka saling membantu, bergotong royong, saling mendukung dan tolong-menolong demi keadilan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “…menjadi saksi karena Allah.”
Ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah.
(Q.S. At-Talaq [65]: 2)
Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu ditegakkan karena Allah, barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak, serta bersih dari penyimpangan, perubahan, dan kepalsuan.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “biarpun terhadap diri kalian sendiri.”
Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu secara benar, sekalipun bahayanya menimpa diri sendiri.
Apabila kamu ditanya mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya, sekalipun mudaratnya kembali kepada dirimu sendiri.
Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap perkara yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian.”
Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan kerabatmu, janganlah kamu takut kepada mereka dalam mengemukakannya. Tetapi kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya, sekalipun bahayanya kembali kepada mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus ditegakkan atas setiap orang, tanpa pandang bulu.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.” Artinya, janganlah kamu hiraukan dia karena kayanya, jangan pula kasihan kepadanya karena miskinnya.
Allah-lah yang mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya daripada kamu sendiri, dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi keduanya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.”
Maksudnya, jangan sekali-kali hawa nafsu dan fanatisme serta risiko dibenci orang lain membuat kalian meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan kalian.
Bahkan tetaplah kalian pada keadilan dalam keadaan bagaimanapun juga, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: “Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 8)
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan Abdullah ibnu Rawwahah ketika diutus oleh Nabi ﷺ melakukan penaksiran terhadap buah-buahan dan hasil panen milik orang-orang Yahudi Khaibar. Ketika itu mereka bermaksud menyuapnya dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap mereka, tetapi Abdullah ibnu Rawwahah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari makhluk yang paling aku cintai, dan sesungguhnya kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi yang sederajat dengan kalian. Bukan karena cintaku kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu aku tidak berlaku adil terhadap kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan demikian, berarti langit dan bumi akan tetap tegak.”
Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang lebar berikut sanadnya dalam tafsir surat Al-Maidah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi.”
Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, makna talwu ialah memalsukan dan mengubah kesaksian. Makna lafaz al-lai sendiri ialah mengubah dan sengaja berdusta. Seperti pengertian yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 78), hingga akhir ayat.
Al-i’rad artinya menyembunyikan kesaksian dan enggan mengemukakannya. Dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya: “Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 283)
Nabi ﷺ telah bersabda: “Sebaik-baik saksi ialah orang yang mengemukakan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.”
Karena itulah Allah mengancam mereka dalam firman selanjutnya, yaitu: “Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” Dengan kata lain, Allah kelak akan membalas perbuatan kalian itu terhadap diri kalian.
·         Hikmah: - Termotivasi menjadi orang yang adil dalam segala keadaan. – Mengerjakan segala sesuatu karena Allaah Ta’ala. – Berusaha tidak menuruti hawa nafsu. – Bersemangat selalu mengatakan kebenaran dan kejujuran.

Mohon maaf apabila masih ada kekurangan :)
 

Komentar