1. Dalil Pertama
·
Dalil QS. Al Baqarah: 286
لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا
وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ
·
Artinya: Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah:
286)
·
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah SWT: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ (“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.”) Artinya, Allah tidak akan membebani seseorang
di luar kemampuannya. Ini merupakan kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan-Nya
terhadap makhluk-Nya. Dan ayat inilah yang menasakh apa yang dirasakan berat
oleh para sahabat Nabi, yaitu Surah Al Baqarah ayat 284 وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ
يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ yang artinya: “Dan jika kamu menampakkan apa
yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan denganmu tentang perbuatanmu itu.” Maksudnya, meskipun Dia
menghisab dan meminta pertanggung-jawaban, namun Dia (Allah) tidak mengadzab
melainkan disebabkan dosa yang seseorang memiliki kemampuan untuk menolaknya.
Adapun sesuatu yang seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya seperti
godaan dan bisikan jiwa (hati), maka hal itu tidak dibebankan kepada manusia.
Dan kebencian terhadap godaan bisikan yang jelek/jahat merupakan bagian dari
iman.
Dan firman-Nya lebih lanjut: لَهَا مَا كَسَبَتْ (“la mendapat
pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya.”) Yaitu berupa kebaikan yang ia
lakukan. وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ (“Dan ia mendapat siksa [dari kejahatan] yang
dikerjakannya.”) Yaitu berupa keburukan yang ia perbuat. Hal itu menyangkut
amal perbuatan yang termasuk dalam taklif (yang harus dilakukan).
Kemudian Allah berfirman, memberikan bimbingan kepada hamba-hamba-Nya dalam
memohon kepada-Nya. Dan Dia telah menjamin akan memenuhi permohonan tersebut.
Sebagaimana Dia telah membimbing dan mengajarkan kepada mereka untuk
mengucapkan: رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau menghukum
kami jika kami lupa atau kami bersalah.”) Yaitu, jika kami meninggalkan suatu
kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram karena lupa, atau kami melakukan
suatu kesalahan karena tidak mengetahui hal yang benar menurut syariat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam hadits yang diriwayatkan
Imam Muslim, dari Abu Hurairah ra, Beliau saw. bersabda: “[Lalu] Allah pun
menjawabnya: ‘Ya.’” (bahwa do’a tersebut langsung dijawab Allah dengan jawaban:
“Ya.”-Pent.)
Sedangkan firman-Nya: رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِنَا
(“Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.”) Maksudnya,
janganlah Engkau membebani kami dengan amal-amal yang berat meskipun kami mampu
menunaikannya, sebagaimana yang telah Engkau syariatkan kepada umat-umat yang
terdahulu sebelum kami, berupa belenggu-belenggu dan beban-beban yang mengikat
mereka. Engkau telah mengutus Nabi-Mu Muhammad saw, sebagai Nabi pembawa
rahmat, untuk menghapuskannya melalui syariat yang dibawanya, berupa agama yang
lurus, yang mudah, lagi penuh kemurahan hati.
Firman Allah swt selanjutnya: رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.”) Yaitu, berupa
kewajiban, berbagai macam musibah dan ujian. Janganlah Engkau menguji kami
dengan apa yang kami tidak mampu menjalaninya.
Firman-Nya lebih lanjut: وَاعْفُ عَنَّا (“Berikanlah maaf kepada kami.”) Yaitu atas kekhilafan dan kesalahan yang
Engkau ketahui yang pernah terjadi antara kami dengan-Mu. وَاغْفِرْ لَنَا (“Ampunilah kami.”) Maksudnya,
kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di antara kami dengan hamba-hamba-Mu.
Maka janganlah Engkau memperlihatkan kepada mereka keburukan-keburukan kami dan
perbuatan jelek kami. وَارْحَمْنَا (“Dan berikanlah rahmat kepada
kami.”) Yaitu, pada segala hal yang akan datang. Maka janganlah Engkau
menjatuhkan kami ke dalam dosa yang lain.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Sesungguhnya orang yang berbuat dosa
memerlukan tiga hal: Ampunan dari Allah Ta’ala atas dosa-dosa yang pernah
terjadi antara dirinya dengan-Nya, penutupan-Nya terhadap kesalahannya dari
hamba-hamba-Nya yang lain, sehingga Dia tidak mencemarkannya di tengah-tengah
mereka dan perlindungan dari-Nya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam dosa
yang sama.”
Firman Allah swt setelah itu: أَنْتَ مَوْلَانَا (“Engkaulah penolong kami.”) Maksudnya,
Engkaulah pelindung dan pembela kami. Kepada-Mu kami bertawakal. Engkaulah
tempat memohon pertolongan, dan kepada-Mu kami bersandar. Tidak ada daya dan
kekuatan pada kami melainkan karena pertolongan-Mu. فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (“Maka tolonglah kami terhadap orang-orang
yang kafir.”) Yaitu orang-orang yang mengingkari agama-Mu, menolak keesaan-Mu
dan risalah nabi-Mu, menyembah Ilah selain diri-Mu, serta menyekutukan-Mu
dengan hamba Mu. Maka tolonglah kami untuk mengalahkan mereka, hingga pada
akhirnya kami mendapatkan kemenangan atas mereka di dunia dan di akhirat. Maka
Allah pun menjawab: “Ya.”
·
Hikmah: - Memahami bahwa segala sesuatu telah
ditetapkan oleh Allaah sesuai dengan kemampuan kita. – Selalu menyadari
kelemahan maupun kelebihan kita di hadapan Allaah SWT. – Mengingat bahwa setiap
waktu kita terjerat kekhilafan, hendaknya selalu memohon ampunan kepada Allaah
SWT.
Hadits dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى
لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari,
maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)
Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua
ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang
yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula
maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau
bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar
karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan
pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim,
3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).
2. Dalil Kedua
·
Dalil Al Maidah ayat 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ
أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ
يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ
حَلِيمٌ
·
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an
itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
·
Tafsir Ibnu Katsir: Oleh Ismail bin Umar
Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi: Di dalam ayat ini terkandung
pelajaran etika dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Allah melarang
mereka menanyakan banyak hal yang tiada berfaedah bagi mereka dalam
mempertanyakan dan menyelidikinya. Karena sesungguhnya jika perkara-perkara
yang dipertanyakan itu ditampakkan kepada mereka, barangkali hal itu akan
menjelekkan diri mereka dan dirasakan amat berat oleh mereka mendengarnya.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ pernah
bersabda: "Semoga jangan ada seseorang menyampaikan kepadaku perihal
sesuatu masalah dari orang lain, sesungguhnya aku suka bila aku menemui kalian
dalam keadaan dada yang lapang."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Munzir ibnul Walid
ibnu Abdur Rahman Al-Jarudi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik
yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengemukakan suatu khotbah yang
belum pernah kudengar hal yang semisal dengannya.
Dalam khotbahnya itu antara lain beliau ﷺ bersabda: Sekiranya kalian
mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian benar-benar sedikit
tertawa dan benar-benar akan banyak menangis.
Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu para sahabat Rasulullah ﷺ
menutupi wajahnya masing-masing, setelah itu terdengar suara isakan mereka. Kemudian
ada seseorang lelaki berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Maka Nabi ﷺ menjawab, ‘Si
Fulan.” Lalu turunlah firman-Nya: "Janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) banyak hal." Imam Bukhari telah meriwayatkannya bukan pada
bab ini, begitu pula Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai
melalui berbagai jalur dari Syu’bah ibnul Hajjaj dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah
menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari
Qatadah, sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala.:“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.,” hingga akhir ayat.
Bahwa telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, para sahabat pernah
bertanya kepada Rasulullah ﷺ hingga beliau dihujani oleh pertanyaan mereka. Lalu
Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka di suatu hari, kemudian menaiki mimbarnya
dan bersabda: Tidak sekali-kali kalian menanyakan kepadaku tentang sesuatu pada
hari ini, melainkan aku pasti menjelaskannya kepada kalian. Maka semua sahabat
Rasulullah ﷺ merasa takut kalau-kalau Rasulullah ﷺ sedang menghadapi suatu
perkara yang mengkhawatirkan. Maka tidak sekali-kali aku tolehkan wajahku ke
arah kanan dan kiriku, melainkan kujumpai semua orang menutupi wajahnya dengan
kain bajunya seraya menangis. Kemudian seseorang lelaki terlibat dalam suatu
persengketaan, lalu dia diseru bukan dengan nama ayahnya, maka ia bertanya,
“Wahai Nabi Allah, siapakah sebenarnya ayahku itu?” Rasulullah ﷺ menjawab,
“Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Umar bangkit dan mengatakan, “Kami rela Allah
sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan
Allah,” seraya berlindung kepada Allah. Atau Umar mengatakan, “Aku berlindung
kepada Allah dari kejahatan fitnah-fitnah.” Anas ibnu Malik melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Aku sama sekali belum pernah
melihat suatu hal dalam kebaikan dan keburukan seperti hari ini, telah
ditampakkan kepadaku surga dan neraka hingga aku melihat keduanya tergambarkan
di arah tembok ini. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui
jalur Sa’id. Dan Ma’mar meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz
yang semisal atau mendekatinya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Ummu Abdullah ibnu Huzafah mengatakan, “Aku belum
pernah melihat seorang anak yang lebih menyakitkan orang tuanya selain kamu. Apakah
kamu percaya bila ibumu telah melakukan suatu perbuatan seperti apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, lalu kamu mempermalukannya di mata umum?”
Maka Abdullah ibnu Huzafah berkata, “Demi Allah, seandainya Rasulullah ﷺ
menisbatkan diriku dengan seorang budak berkulit hitam, niscaya aku mau
menerimanya.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Qais, dari
Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah sehingga wajahnya kelihatan memerah,
lalu beliau duduk di mimbar.Dan berdirilah seorang lelaki, lalu bertanya, “Di
manakah ayahku?” Nabi ﷺ menjawab, “Di dalam neraka.” Lalu berdiri pula lelaki
lain dan berkata, “Siapakah ayahku?” Nabi ﷺ bersabda, “Ayahmu Huzafah.”
Kemudian berdirilah Umar —atau Umar bangkit— dan berkata, “Kami rela Allah sebagai
Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Nabi Muhammad ﷺ nabi kami, dan Al-Qur’an
sebagai imam kami. Sesungguhnya kami, wahai Rasulullah, masih baru meninggalkan
masa Jahiliah dan kemusyrikan, dan Allah-lah yang lebih mengetahui siapakah
bapak-bapak kami.” Maka redalah kemarahan Nabi ﷺ, lalu turun firman-Nya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian)
hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga
akhir ayat.” Sanad hadis ini jayyid (baik), dan kisah ini diketengahkan secara
mursal oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, antara lain Asbat,
dari As-Saddi.
Disebutkan bahwa As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi
kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.”
Bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ marah, lalu berdiri dan berkhotbah,
antara lain beliau ﷺ bersabda: Bertanyalah kalian kepadaku, maka sesungguhnya
tidak sekali-kali kalian menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan
memberitahukannya kepada kalian. Maka majulah seorang lelaki Quraisy dari
kalangan Bani’ Sahm yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Huzafah yang
diragukan nasabnya. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah ayahku yang
sebenarnya?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ayahmu adalah si Fulan,” lalu Nabi ﷺ
memanggilnya dengan sebutan ayahnya. Maka Umar ibnul Khattab maju ke hadapan
Nabi ﷺ, lalu mencium kaki Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami rela
Allah sebagai Tuhan kami, engkau sebagai nabi kami, Islam sebagai agama kami,
dan Al-Qur’an sebagai imam kami, maka maafkanlah kami, semoga Allah pun
memaafkanmu.” Umar terus-menerus melakukan demikian hingga marah Rasulullah ﷺ
reda. Dan pada hari itu juga Rasulullah ﷺ bersabda: Anak itu adalah milik
firasy (ayah) dan bagi lelaki pezina tiada hak (pada anaknya).
Kemudian Imam Bukhari mengatakan: “Telah menceritakan kepada kami Al-Fadl
ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada
kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Abul Juwairiyah, dari Ibnu
Abbas r.a. yang menceritakan bahwa pernah ada segolongan kaum yang bertanya
kepada Rasulullah ﷺ dengan memperolok-olokkannya. Seseorang lelaki bertanya,
“Siapakah ayahku?” Lelaki lainnya bertanya pula, “Untaku hilang, di manakah
untaku?” Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan dengan
mereka: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi
kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan
kalian.,” hingga akhir ayat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid. Ibnu Jarir mengatakan
pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah
menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdul Aziz Abul Gamr, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Muti’ Mu’awiyah ibnu Yahya, dari Safwan ibnu Amr, telah
menceritakan kepadaku Salim ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abu Umamah Al-Bahili menceritakan hadis berikut: Bahwa Rasulullah ﷺ berdiri di
hadapan orang banyak, lalu bersabda, “Telah diwajibkan atas kalian melakukan
ibadah haji.” Lalu berdirilah seseorang lelaki Badui dan bertanya, “Apakah
untuk setiap tahun?” Suara lelaki Badui itu lebih keras daripada suara
Rasulullah ﷺ, cukup lama Rasulullah ﷺ diam saja dalam keadaan marah. Kemudian
bersabda, “Siapakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki Badui itu menjawab,
“Saya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celakalah kamu! Apakah yang menjadi
kepercayaanmu jika kukatakan ya? Demi Allah, seandainya kukatakan ya, niscaya
diwajibkan (tiap tahunnya), dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian kafir
(ingkar). Ingatlah, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian
ialah karena dosa-dosa besar. Demi Allah, seandainya aku halalkan bagi kalian
semua apa yang ada di bumi dan aku haramkan atas kalian sebagian darinya
sebesar tempat khuf, niscaya kalian akan terjerumus ke dalamnya.” Maka pada saat
itu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika
diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.” Tetapi
di dalam sanadnya terkandung kedaifan (kelemahan). Lahiriah makna ayat
menunjukkan larangan menanyakan berbagai hal yang bila dijelaskan jawabannya
akan membuat buruk si penanya. Hal yang lebih utama menghadapi hal-hal seperti
itu ialah berpaling darinya dan membiarkannya, yakni jangan menanyakannya.
Alangkah baiknya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang menyebutkan
bahwa: “Telah menceritakan kepada kami Hajjaj, ia pernah mendengar Israil ibnu
Yunus menceritakan dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim maula Al-Hamdani, dari Zaid
ibnu Za-id, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ
telah bersabda kepada para sahabatnya: Jangan ada seseorang menyampaikan
sesuatu kepadaku dari orang lain, karena sesungguhnya aku suka bila keluar
menemui kalian, sedangkan aku dalam keadaan berhati lapang.” Imam Abu Daud dan
Imam Turmuzi telah meriwayatkannya melalui hadis Israil. Abu Daud mengatakan
dari Al-Walid, sedangkan Imam Turmuzi mengatakan dari Israil, dari As-Saddi,
dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: "…dan jika kalian menanyakannya di
waktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada
kalian." Yakni jika kalian menanyakan hal-hal tersebut yang kalian
dilarang menanyakannya di saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya
akan dijelaskan kepada kalian. Dan hal itu sangat mudah bagi Allah.Kemudian
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal
itu.” Yakni hal-hal yang kalian lakukan sebelum itu.Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.
Menurut pendapat lain, firman Allah subhanahu wa ta’ala.: "…dan jika
kalian menanyakannya di waktu Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepada kalian." Maknanya ialah “Janganlah kalian menanyakan
hal-hal yang kalian sengaja memulai mengajukannya, karena barangkali akan
diturunkan wahyu disebabkan pertanyaan kalian itu yang di dalamnya terkandung
peraturan yang memberatkan dan menyempitkan kalian”.
Di dalam sebuah hadis telah disebutkan: “Orang muslim yang paling besar
dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, lalu
menjadi diharamkan karena pertanyaannya itu. Tetapi jika diturunkan wahyu
Al-Qur’an mengenainya secara global, lalu kalian menanyakan penjelasannya,
niscaya saat itu akan dijelaskan kepada kalian karena kalian sangat
memerlukannya. Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.” Yakni hal-hal
yang tidak disebutkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hal tersebut termasuk yang
dimaafkan. Karena itu, diamlah kalian sebagaimana Nabi ﷺ diam terhadapnya.
Di dalam hadis sahih disebutkan dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ telah
bersabda: "Biarkanlah aku dengan apa yang kutinggalkan untuk kalian,
karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa hanyalah karena
mereka banyak bertanya dan sering bolak-balik kepada nabi-nabi mereka (yakni
banyak merujuk)." Di dalam hadis sahih yang lain disebutkan pula: "Sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta’ala." telah menetapkan hal-hal yang fardu, maka
janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Dia telah menetapkan batasan-batasan,
maka janganlah kalian melampauinya, dan Dia telah mengharamkan banyak hal, maka
janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan (tidak menjelaskan)
banyak hal karena kasihan kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah
kalian menanyakannya.
·
Hikmah: - Membuat kita lebih berhati-hati
untuk menanyakan permasalahan perihal agama. – berbaik sangka kepada Allaah
bahwa urusan agama telah termaktub dalam Al-Quran maupun Al Hadits. – Lebih dianjurkan
untuk banyak menurut dalam urusan agama.
3. Dalil Ketiga
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
·
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
·
Tafsir Al Muyassar: Larangan mendekati lebih
dalam daripada larangan melakukan, karena hal ini menunjukkan dilarang pula
segala yang mengantarkan kepadanya. Yakni perkara yang dianggap keji baik oleh
syara’, akal maupun fitrah manusia, karena di dalamnya terdapat sikap berani
terhadap larangan yang terkait dengan hak Allah, hak wanita, hak keluarganya
atau suaminya, merusak kasur, mencampuradukkan nasab dan mafsadat lainnya.
·
Hikmah: - Lebih menjaga diri dalam pergaulan
dengan lawan jenis. – Tidak mendekati zina. – Memelihara silsilah keturunan
keluarga. – Menjadikan kita orang yang taat pada hukum Allaah dengan menerapkannya
dalam kehidupan kita.
4. Dalil Keempat
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ
تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ
·
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 177)
·
Tafsir Al Jalalain: Oleh Jalaluddin al-Mahalli
& Jalaluddin as-Suyuthi: (Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan
wajahmu) dalam salat (ke arah timur dan barat) ayat ini turun untuk menolak
anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menyangka demikian, (tetapi orang
yang berbakti itu) ada yang membaca ‘al-barr’ dengan ba baris di atas, artinya
orang yang berbakti (ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir,
malaikat-malaikat, kitab) maksudnya kitab-kitab suci (dan nabi-nabi) serta
memberikan harta atas) artinya harta yang (dicintainya) (kepada kaum kerabat)
atau famili (anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan)
atau musafir, (orang-orang yang meminta-minta) atau pengemis, (dan pada)
memerdekakan (budak) yakni yang telah dijanjikan akan dibebaskan dengan
membayar sejumlah tebusan, begitu juga para tawanan, (serta mendirikan salat
dan membayar zakat) yang wajib dan sebelum mencapai nisabnya secara tathawwu`
atau sukarela, (orang-orang yang menepati janji bila mereka berjanji) baik
kepada Allah atau kepada manusia, (orang-orang yang sabar) baris di atas
sebagai pujian (dalam kesempitan) yakni kemiskinan yang sangat (penderitaan)
misalnya karena sakit (dan sewaktu perang) yakni ketika berkecamuknya perang di
jalan Allah. (Mereka itulah) yakni yang disebut di atas (orang-orang yang
benar) dalam keimanan dan mengakui kebaktian (dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa) kepada Allah.
·
Hikmah: - Kebajikan tidak hanya mengerjakan
rukun Iman dan rukun Islam, melainkan saling membantu dan tolong-menolong
sesama makhluq Allaah. – Dianjurkannya untuk sabar dalam menghadapi segala
masalah. – Berlatih selalu menepati janji-janji yang telah disepakati.
5. Dalil Kelima
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ
أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
·
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap
dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya).
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka ketahuilah Allah Maha teliti terhadap segala apa yang kamu
kerjakan.
·
Tafsir Ibnu Katsir: Oleh Ismail bin Umar
Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi: Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar menegakkan keadilan, dan janganlah
mereka bergeming dari keadilan itu barang sedikit pun, jangan pula mereka
mundur dari menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan orang-orang
yang mencela, jangan pula mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya
berpaling dari keadilan. Hendaklah mereka saling membantu, bergotong royong,
saling mendukung dan tolong-menolong demi keadilan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “…menjadi saksi karena Allah.”
Ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian
itu karena Allah.
(Q.S. At-Talaq [65]: 2)
Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu
ditegakkan karena Allah, barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak,
serta bersih dari penyimpangan, perubahan, dan kepalsuan.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “biarpun terhadap diri
kalian sendiri.”
Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu secara benar, sekalipun
bahayanya menimpa diri sendiri.
Apabila kamu ditanya mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya,
sekalipun mudaratnya kembali kepada dirimu sendiri.
Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap perkara
yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian.”
Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan
kerabatmu, janganlah kamu takut kepada mereka dalam mengemukakannya. Tetapi
kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya, sekalipun bahayanya kembali kepada
mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus ditegakkan atas setiap
orang, tanpa pandang bulu.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya.” Artinya, janganlah kamu hiraukan dia karena
kayanya, jangan pula kasihan kepadanya karena miskinnya.
Allah-lah yang mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya
daripada kamu sendiri, dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi
keduanya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Maka janganlah kalian mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.”
Maksudnya, jangan sekali-kali hawa nafsu dan fanatisme serta risiko dibenci
orang lain membuat kalian meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan
kalian.
Bahkan tetaplah kalian pada keadilan dalam keadaan bagaimanapun juga,
seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: “Dan janganlah sekali-kali kebencian
kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 8)
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan Abdullah ibnu Rawwahah
ketika diutus oleh Nabi ﷺ melakukan penaksiran terhadap buah-buahan dan hasil
panen milik orang-orang Yahudi Khaibar. Ketika itu mereka bermaksud menyuapnya
dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap mereka, tetapi Abdullah ibnu
Rawwahah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari
makhluk yang paling aku cintai, dan sesungguhnya kalian ini lebih aku benci
daripada kera dan babi yang sederajat dengan kalian. Bukan karena cintaku
kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu aku tidak berlaku adil terhadap
kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan demikian, berarti langit dan bumi akan
tetap tegak.”
Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang lebar berikut sanadnya
dalam tafsir surat Al-Maidah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: “Dan jika kalian memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi.”
Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan
ulama Salaf, makna talwu ialah memalsukan dan mengubah kesaksian. Makna lafaz
al-lai sendiri ialah mengubah dan sengaja berdusta. Seperti pengertian yang ada
di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya di antara mereka ada
segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]:
78), hingga akhir ayat.
Al-i’rad artinya menyembunyikan kesaksian dan enggan mengemukakannya. Dalam
ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya: “Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 283)
Nabi ﷺ telah bersabda: “Sebaik-baik saksi ialah orang yang mengemukakan
kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.”
Karena itulah Allah mengancam mereka dalam firman selanjutnya, yaitu: “Maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” Dengan
kata lain, Allah kelak akan membalas perbuatan kalian itu terhadap diri kalian.
·
Hikmah: - Termotivasi menjadi orang yang adil
dalam segala keadaan. – Mengerjakan segala sesuatu karena Allaah Ta’ala. –
Berusaha tidak menuruti hawa nafsu. – Bersemangat selalu mengatakan kebenaran
dan kejujuran.
Mohon maaf apabila masih ada kekurangan :)
Komentar
Posting Komentar